Apakah Ikan Merasa Sakit? Jangan C&R?
Apakah Ikan Merasa Sakit? Menelusuri Perubahan Paradigma dan Implikasinya terhadap Praktik Catch and Release
Pendahuluan
Kegiatan memancing telah menjadi salah satu bentuk rekreasi yang digemari di seluruh dunia. Di antara para pemancing, berkembang praktik catch and release, yaitu menangkap ikan lalu melepaskannya kembali ke habitat alaminya. Tujuan utamanya adalah menjaga populasi ikan agar tetap lestari. Namun, belakangan ini muncul pertanyaan penting: apakah ikan merasakan sakit saat dipancing dan dilepaskan kembali?
Pertanyaan ini bukan hanya akademis. Ia menyentuh aspek etika dan tanggung jawab moral dalam menjalani hobi. Artikel ini membahas dua paradigma utama yang berkembang dalam dunia sains terkait rasa sakit pada ikan—paradigma lama yang menganggap ikan tidak merasakannya, dan paradigma baru yang menunjukkan sebaliknya. Akhirnya, artikel ini akan mengaitkannya dengan praktik catch and release yang beretika dan berbasis kesejahteraan ikan.
Paradigma Lama: Ikan Tidak Merasakan Sakit
Argumen Biologis
Selama beberapa dekade, banyak ilmuwan dan praktisi perikanan meyakini bahwa ikan tidak merasakan sakit sebagaimana manusia atau mamalia lainnya. Pandangan ini didasarkan pada beberapa argumen utama:
-
Ketiadaan neokorteks
-
Neokorteks adalah bagian otak manusia yang memproses pengalaman sadar, termasuk rasa sakit.
-
Karena ikan tidak memiliki neokorteks, mereka dianggap tidak mampu merasakan sakit secara sadar.
-
-
Respon ikan dianggap refleks
-
Saat ikan terluka atau ditangkap, gerakannya (misalnya menggelepar) dinilai hanya sebagai refleks tanpa makna emosional.
-
Oleh karena itu, penderitaan yang dialami ikan dianggap tidak setara dengan penderitaan hewan darat seperti mamalia atau burung.
-
-
Jaringan mulut dianggap keras dan kurang sensitif
-
Beberapa kalangan berpendapat bahwa mulut ikan adalah jaringan keras dan minim saraf, sehingga insersi kail tidak menimbulkan rasa sakit yang berarti.
-
Tokoh Pendukung dan Literatur
Salah satu tokoh penting yang mendukung paradigma ini adalah James D. Rose dari University of Wyoming, dalam publikasinya:
-
Rose, J.D. (2002). The neurobehavioral nature of fishes and the question of awareness and pain. Reviews in Fisheries Science, 10(1), 1–38.
Rose menyimpulkan bahwa "tanpa neokorteks, tidak ada pengalaman sadar akan rasa nyeri" pada ikan. Ia berpendapat bahwa reaksi ikan terhadap luka lebih mirip refleks daripada pengalaman emosional.
Pandangan ini kemudian memengaruhi kebijakan di banyak negara selama bertahun-tahun, dan menjadi justifikasi etis dalam industri perikanan maupun rekreasi.
Paradigma Baru: Ikan Merasakan Sakit
Mulai awal 2000-an, berbagai penelitian mulai menggugat asumsi lama tersebut. Studi-studi baru menunjukkan bahwa ikan memiliki sistem sensorik, perilaku, dan kemampuan belajar yang memungkinkan mereka merasakan nyeri dan stres.
Bukti Fisiologis dan Perilaku
-
Adanya nociceptor (reseptor nyeri)
-
Penelitian oleh Lynne Sneddon dkk. (2003) menunjukkan bahwa ikan trout memiliki nociceptor aktif di sekitar kepala dan mulut, yang merespons rangsangan panas, tekanan, dan kimiawi.
-
Ikan yang disuntikkan asam asetat di bibirnya menunjukkan perilaku menggosok-gosokkan mulut, dan enggan makan—indikasi adanya pengalaman tidak nyaman, bukan sekadar refleks.
-
-
Pengaruh analgesik
-
Bila diberikan morfina, ikan menunjukkan penurunan reaksi stres, menandakan bahwa rasa sakitnya diredakan—sama seperti pada mamalia.
-
-
Perubahan perilaku kompleks
-
Ikan yang terluka cenderung menghindari lokasi kejadian, belajar dari pengalaman buruk, dan menunjukkan tanda-tanda distres jangka panjang.
-
-
Studi terbaru tentang penderitaan
-
Artikel oleh Schuck-Paim et al. (2025) menggunakan pendekatan kuantitatif untuk mengukur penderitaan ikan trout saat disembelih dengan metode asfiksia udara.
-
Hasilnya: seekor trout bisa mengalami 10 menit penderitaan sedang hingga berat, dan per kilogram ikan bisa mengalami hingga 24 menit penderitaan.
“The suffering per fish is non-trivial, and mitigation strategies like stunning can dramatically reduce welfare impacts” — Schuck-Paim et al. 2025, Scientific Reports
-
Implikasi terhadap Praktik Catch and Release
Dengan bukti bahwa ikan bisa merasakan sakit dan stres, maka praktik catch and release perlu dilakukan secara bijak. Catch and release bukan otomatis berarti "tidak menyakiti ikan". Bila dilakukan tanpa prosedur yang benar, praktik ini justru dapat menyebabkan penderitaan serius, bahkan kematian setelah dilepaskan.
Tantangan Etis
-
Luka akibat kail bisa menyakitkan dan menyebabkan infeksi.
-
Penanganan di luar air bisa memicu stres berat dan kerusakan insang.
-
Durasi pertarungan yang lama menyebabkan kelelahan dan potensi kegagalan pemulihan.
Prinsip-Prinsip Catch and Release yang Beretika
Untuk tetap bisa menikmati hobi memancing sambil menjaga kesejahteraan ikan, berikut prinsip dasar yang perlu diterapkan:
-
Gunakan kail tanpa barb (barbless hook) agar luka lebih minimal.
-
Minimalkan durasi ikan di luar air—idealnya < 15 detik.
-
Basahi tangan sebelum memegang ikan, hindari menyentuh insang.
-
Gunakan jaring dengan bahan lembut (rubber net).
-
Jangan memancing di suhu ekstrem (terlalu panas/dingin) karena memperparah stres.
-
Lepaskan ikan dengan perlahan ke dalam air, tunggu sampai benar-benar pulih.
Kesimpulan
Ilmu pengetahuan tentang ikan telah berkembang pesat. Jika dulu ikan dianggap tak bisa merasakan sakit, kini berbagai bukti ilmiah menegaskan bahwa mereka mampu mengalami nyeri dan stres. Hal ini mengubah cara pandang kita terhadap hubungan manusia dengan ikan, termasuk dalam konteks recreational fishing.
Catch and release tetap dapat menjadi praktik konservatif yang baik, namun hanya jika dilakukan dengan etika, ilmu, dan kepedulian terhadap kesejahteraan ikan. Dengan memahami bahwa ikan juga makhluk hidup yang bisa menderita, kita sebagai pemancing punya tanggung jawab untuk menjadikan hobi ini lebih beradab dan berkelanjutan.
Penulis tidak sepenuhnya melakukan penelitian mandiri, sebagian besar disusun dengan bantuan AI yang sumbernya sudah diverifikasi penulis.
Post a Comment